Aku (Bukan) Penyair, Aku (Bukan) Kopiraiter

Lembaran demi lembaran aku coba ungkapin, meski dengan kaburnya perasaan yang ada. Seandainya ada seonggok perempuan cantik pagi ini yang ngebangunin aku dengan sebuah kecupan manis di kening atau di bibirku yang membangunkan.

Kata pun menjadi seolah hal yang selalu manis bercumbu denganku di setiap harinya. Begitulah derita sekaligus anugerah bekerja sebagai copywriter. Yang pasti yang bisa kulakukan setiap harinya adalah merangkai kata demi kata agar indah dan enak dilihat di berbagai produk yang aku kerjain. Entah oli, susu balita, pembalut wanita, permen, dan banyak produk kaum pemilik modal yang sekaligus berfungsi sebagai produsen.

Kebaikanku merangkai kata tampaknya seperti membuatku seperti penyair yang setiap harinya mencoba membuat rangkaian kata indah. Tapi, dalam hatiku ngerasa kalau aku bukan seorang penyair.

Tentunya penyair itu membuat karya berdasarkan apa yang ada di pikiran dia, bebas, dan tanpa adanya tekanan atau aturan dari pihak yang lebih "berkuasa." Tentunya di dalam diri seorang penyair itu yang berkuasa penuh adalah pikiran dan perasaan yang dia sendiri miliki.

Tik, tak, tuk. Jemari ini mencoba merangkaikan huruf yang membentuk kata dan menjelma jadi kalimat. Aku pun tak bisa ngitung udah berapa kata per harinya yang aku hasilkan. Yang tayang dalam iklan-iklan yang aku buat, dan menjadi konsumsi orang banyak.

Ya kalau iklan mah emang dikonsumsi orang tanpa adanya usaha dari si pembaca, tapi aku kadang suka iri dengan para penyair yang selalu menuangkan pikiran bebasnya tanpa ada intervensi dari pihak lain.

Aku sudah menulis satu miliar kata, aku sudah ngasilin ratusan karya, dan aku sudah membuat masayarakat membaca karyaku. Tapi, apa itu cukup untuk dapat ngungkapin kegelisahan yang ada di dalam diriku sendiri?

Entahlah, kadang di setiap aku menulis, aku masih banyak menemukan ketidakpuasan terhadap diri ini khususnya. Jadi penulis kopi emang gak mudah, apalagi jadi penyair. Penyair dan kopiraiter yang menurutku apple to apple. Dan, aku masih ngerasa belum pantes disebut keduanya.

Pengen banget aku bisa menjadikan kata-kata yang aku bikin memberikan spirit lain ke orang yang menikmati. Kalau kata Ibnu Wahyudi, salah satu mahaguruku, tak ada yang bisa dinikmati selain kepenulisan karena emang yang ngebuat seorang sastrawan, bahkan, tak ingin disebut sastrawan.

Ya, emang di dalam diriku seperti disuntik sebuah jiwa yang didasarkan oleh sebuah keinginan untuk selalu penasaran terhadap kata. Aku pengen banget bisa ngedapetin sebuah katarsis dalam perenungan kata yang bisa nganteirn aku ke kepuasan sendiri.

Diam dan berpikir dan terus menggerakkan jari jemari untuk membuatkanku jadi sebuah rangkaian indah yang apik dibaca. Sekarang emang jadi momen dan keperluan untuk dapat terus ngerangkai kata. Andaikan aku bisa kembali menemukan kegelisahanku kaya gini kelak. Karena emang terkadang kegelisahan itu mengantarkanku ke sebuah pencarian akan jawaban.

Biarkan dengan kata-kata aku menggapai cita-cita. Dengan kedua tangan yang bersatu dengan kecupan manis pikiran menjadikanku seorang yang tangguh dalam menuangkan ide dan pikiran. Dan, aku tau kalau hidupku ini akan membawaku keluar dan tak menjadikanku seperti kata dalam tempurung.

Profesi ini seperti membelenggu dan mengalirkan darah kepenyairan dalam darahku.

Aku (bukan) penyair dan (bukan) kopiraiter.

Tok-tok! "Waan, bangun sana dari laptop, jemur baju abis itu beli susu buat Troy!" sebuah perintah yang sering aku dengar dalam keseharianku di akhir pekan.

Aku pun beranjak.

Comments

Popular posts from this blog

KARYA IKHWAN ARYANDI

Perintis Periklanan Itu Bernama Nuradi

Nasi Padang Agensi Jepang