Jingga
Pernah kebayang sebelum masuk ke dalam dunia dewasa yang penuh kejadian semu ini terpikir, bahwa gw selalu ingin pergi ke jauh ke dalam sesuatu yang bisa ngasih sebuah kata matang. Kejadian yang penuh pun membawa semua perjalanan ini ke sebuah mimpi dan harapan yang tercipta.
Entah kenapa, di bulan puasa ini gw banyak ngedapetin hal-hal baru dan baik yang kadang bikin gw mikir dan dipaksa untuk menunduk. Semua kejadian yang harusnya pergi, malah datang dengan baik.
Menutup semua kejadian atau menutup sebuah penantian, mungkin menuntun gw ke dalam keadaan yang jauh lebih baik. Di bulan Ramadan ini, gw ngerasa amat sangat berbeda dibanding hari-hari sebelumnya.
Janggut pun semakin banyak tumbuh dan semakin banyak juga yang gw buang ke bawah lantai. Koin kembalian semakin banyak yang masuk celengan. Dan berbagai penantian akan sebuah kebahagiaan.
Senyum ibuku, tawa ketiga ponakanku, kebawelan kedua saudara perempuanku, dan bahkan kepemimpinan bapakku yang tak ada karena harus berelebaran di negeri seberang. Hanya itu yang tak bisa gw tutupi dalam ngejalanain semua ini.
Menutupi semua yang gw ingini atau gw sayangin emang gak akan pernah bisa. Karena di situ lah gw ngerasa diri gw dihargai dengan begitu banyak rasa cinta. Meski tak banyak, gw gak akan pernah bisa membencinya.
Kebahagiaan-kebahagiaan baru muncul seiring dengan semua pengorbanan yang terjadi. Gak mungkin gw mau mulai semua ini kalau gw gak punya keyakinan akan secercah kebahagiaan yang akan muncul di dalamnya.
Rasa sayang itu pun timbul tenggelam, dan bahkan timbul dan gak akan pernah tenggelam setelah gw berhasil menutupi semua rasa, ego, pikiran, atau bahkan arogansi dari sebuah diri yang gak punya apa-apa. Gw tau gw bisa memberinya lebih dalam lagi.
Dari balik jilbab, aku menyayanginya dan membawa hidupku ke dalam pelukannya. Entah harus berkata apa.
Wahai gadis berkerudung jingga.
Entah kenapa, di bulan puasa ini gw banyak ngedapetin hal-hal baru dan baik yang kadang bikin gw mikir dan dipaksa untuk menunduk. Semua kejadian yang harusnya pergi, malah datang dengan baik.
Menutup semua kejadian atau menutup sebuah penantian, mungkin menuntun gw ke dalam keadaan yang jauh lebih baik. Di bulan Ramadan ini, gw ngerasa amat sangat berbeda dibanding hari-hari sebelumnya.
Janggut pun semakin banyak tumbuh dan semakin banyak juga yang gw buang ke bawah lantai. Koin kembalian semakin banyak yang masuk celengan. Dan berbagai penantian akan sebuah kebahagiaan.
Senyum ibuku, tawa ketiga ponakanku, kebawelan kedua saudara perempuanku, dan bahkan kepemimpinan bapakku yang tak ada karena harus berelebaran di negeri seberang. Hanya itu yang tak bisa gw tutupi dalam ngejalanain semua ini.
Menutupi semua yang gw ingini atau gw sayangin emang gak akan pernah bisa. Karena di situ lah gw ngerasa diri gw dihargai dengan begitu banyak rasa cinta. Meski tak banyak, gw gak akan pernah bisa membencinya.
Kebahagiaan-kebahagiaan baru muncul seiring dengan semua pengorbanan yang terjadi. Gak mungkin gw mau mulai semua ini kalau gw gak punya keyakinan akan secercah kebahagiaan yang akan muncul di dalamnya.
Rasa sayang itu pun timbul tenggelam, dan bahkan timbul dan gak akan pernah tenggelam setelah gw berhasil menutupi semua rasa, ego, pikiran, atau bahkan arogansi dari sebuah diri yang gak punya apa-apa. Gw tau gw bisa memberinya lebih dalam lagi.
Dari balik jilbab, aku menyayanginya dan membawa hidupku ke dalam pelukannya. Entah harus berkata apa.
Wahai gadis berkerudung jingga.
Comments
Post a Comment