Apapun yang Aku Ingin
Kemarin itu pak bos nyuruh gw ini itu dan suka keribetan sendiri entah dia apa sih maunya. Sampe bingung gw ngadepin dia. Bentar-bentar nyuruh, bentar-bentar minta tolong, ada lah pokoknya yang dia pengen ngerjain.
Eh jadi juga ternyata.
Sepulangnya dari kantor, sampe bingung gw mau pake baju apa. Udah gitu gw celana pendekan hari ini. Apa gw harus make batik gitu? Hahahaha, kaya kawinan aje. Pak bos muda aja di mobilnya udah nyiapin kemeja.
Gw pun akhirnya tiba juga di Bentara Budaya. Gak taunya di sana lebih aneh-aneh dan gak jelas dah ngeliat kumpulan seniman-seniman. Gondrong-gondrong, brewokan, pake selampe di kepala, celana pendek, kaos item-item. Gw brewokan juga sih, tapi masih gantengan dikit lah, hehehe.
Pameran lukisan dengan tajuk "Berdua." Karya doi sama rekan pelukisnya. Lucu juga sih lukisan-lukisannya. Dominasi objek sedikit monochrome terlihat di karya tangan yang dia bikin.
Agak-agak kekuning-kuningan gitu, sama dominasi warna hitam yang ngebikin lukisan abstraknya jadi berkarakter. Pokoknya kata doi yang gak pernah gw lupa adalah lukisannya dia adalah "bentuk ungkapan, bukan ungkapan bentuk."
Sedikit butuh waktu sih memahaminya. Tapi, akhirnya gw tau kalau lukisan dia adalah bentuk pencarian di kepalanya dia. Sedangkan, bedanya dengan ungkapan bentuk itu adalah sudah diketahui apa yang mau dilukis. Jadi gak surprise gitu.
Tau ah pak bos. Bingung gw jadinya. Pokoknya yang gw tau pak bos adalah seniman, hahahaha.
Sedangkan, rekan pak bos lukisannya didominasi dengan warna-warna utama kaya merah, kuning, hijau, kaya logo Kompas TV deh, hehehe.
Aku bukan pelukis, tapi aku penulis.
Ada kemiripan sih, tapi emang beda medium. Itu kesamaan yang gw rasain. Kalau pak bos itu mengejawantahkannya dengan gambar, meski abstrak, yang ada di kepalanya. Sedangkan gw emang seneng dengan pengaturan jiwa emosi melalui kata-kata yang gw rangkai.
Entah sih, gw ngerti apa enggak apa yang gw tulis. Tapi, gw yakin dan jujur apa yang gw tulis. Karena gw tau itu adalah ungkapan hati paling jujur.
Bekerja sebagai pencipta pasti kenyang nemuin hujatan, cacian, makian, dan semuanya. Begitu juga dengan apa yang gw tulis, gak serta-merta ngasilin impact yang positif. Banyak juga masukan yang kadang menjatuhkan. Atau hanya jadi bahan olok-olokan.
Teguhkan dahi, pandang ke depan tanpa ada halangan atau rintangan yang menghalangi. Ibarat kata "Biarkan anjing menggonggong, si ganteng berlalu,"heehehe.
Pameran lukisan dengan tajuk "Berdua" itu ngebawa inspirasi banget deh. Konon (jangan dibalik), kata pak bos susah untuk seniman berkarya dan menyelaraskan menjadi kolaborasi yang apik dan dipamerkan di Bentara Budaya.
Berdua itu kadang menciptakan polemik sih, tapi emang bukannya itu yang selalu menjadikan manusia bertahan hidup? Saling melengkapi, merajut kebahagiaan berdua, tanpa ada keinginan untuk mendua.
Monogami.
Esensi manusia hidup adalah untuk mendefinisikan sendiri apa arti kebahagiaan bagi dirinya. Kaya gw yang gak jelas ini, hehehee. Tapi, gw bahagia dengan keadaan gw yang gak punya apa-apa ini. Yang penting gw masih bisa mencipta. Meski, hanya sekedar tulisan.
Gw tau, jujur, sadar, dan yakin apa yang sedang gw hadapi dan lakukan. Dan, gw tidak sama sekali malu atas apa yang sedang gw lakukan dan gw jalanin. Karena itu sudah kehendak baik dari gw atau kehendak yang di atas.
Kalau gw emang harus dilahirkan dengan kemampuan sebagai penulis, kenapa harus gw sesalkan atau gw malu? Harusnya gw menyesuaikan dengan keadaan atas apa yang terjadi dengan batin dan kenyataan hidup yang teryata gak semanis itu.
Daripada gw kaya orang kebanyakan? Hanya bisa mengkoreksi, tapi gak bisa ngasilin karya apa-apa atau apapun yang bisa dirasakan orang lain. Tanpa orang itu tau apa yang sedang terjadi di dalamnya.
Rahasia akan selamanya diam.
"Harum tubuhmu dan suaramu membalas semua bisikanku memanggil namamu."
Comments
Post a Comment