Bolehkah Aku Membeli Waktumu?
Tanpa sadar waktu sudah menunjukkan sore hari. Dan, dia hanya terdiam di atas meja pesakitannya yang rame dan penuh kertas-kertas dan coretan-coretan.
Di seberang keyboard deket komputer seperti ada coretan mengenai daftar mimpi yang sedang dia list. Salah satunya, standar lah, jadi orang kaya, menikah, punya pasangan setia, bahagiain orangtua, dan beberapa daftar mimpi yang seakan menumpuk.
Teringat cerita tentang seorang anak kecil yang ingin membeli waktu ayahnya yang sibuk banget. Saking sibuknya terlupakan bahwa kebahagiaan itu gak dateng dengan sendirinya. Atau bisa dengan mudah dibeli di tempat umum.
Terkadang suka psycho sih kalau ngerasa kalau waktu banyak kebuang percuma dalam sebuah perjalanan kehidupan. Itu misalnya gak punya mimpi. Kalau punya segudang mimpi yang dia sendiri mendaftarkannya, jadinya beda. Karena setelah mimpi satu tercapai, tentu mimpi yang lain pun dengan sendiri on progress.
Seandainya waktu bisa diputar semuanya, tentu dia sangat amat mengingkan untuk berputar sekitar setahun yang lalu. Tentu membahagiakan sekali punya mimpi dan angan-angan yang sedang dikejar dan dititi bersama.
Perubahan pun ketika banyak hal baru yang dia sangsikan sebagai pengaruh buruk. Apa yang harus dilakukan?
Menjaga diri aja. Simpel kan katanya?
Udah tau waktu gak bisa kembali, jadi jangan torehkan hal-hal yang tentu bisa ngebuang percuma. Kalau emang ngerasa terbaik ya go ahead. Tapi, inget penyesalan itu gak akan pernah ada. Karena sesuatu yang dia sesali belakangan rasanya gak adil.
Gak adil karena perjuangan jadi seakan percuma. Cuma berusaha ngais-ngais dari sisa memori masa lalu aja sih. Tapi, dirinya menganggap tak ada yang namanya buang waktu. Karena sebenarnya waktu itu tergantung diri sendiri.
Mau ngejar sekarang, apa mau ngejar besok?
Atau justru anteng-anteng aja ngikutin arus.
Karena keadaan waktu apa enggak tergantung dirinya sendiri. Dia mau ngapain kek, mau mimpi kek, mau berubah kek, mau terus jadi buah bibir kek, mau ngegamblangin diri atas keburukan masa lalunya kek, atau justru mengumbar hal-hal yang terjadi karena kesalahan di waktu yang sebelumnya.
Semua tergantung dia mengemis atas apa yang sebenarnya terjadi.
Kalau waktu dijajakan di pinggir jalan, mungkin akan banyak orang gila di dunia ini. Menganggap sesuatu yang telah dijalani atau belum menjadi sesuatu yang bisa dengan mudah dimaju-mundurin.
Lalu, dia bergumam dalam hati dan menulis di secarik kertas putih dengan tinta hitam pekat. Sambil merogoh dompetnya...
"Bolehkah aku membeli waktumu?"
Comments
Post a Comment