Menjaga Semampuku
Dia ngerasa kalau dirinya benar. Padahal yang dia lakukan itu gak selamanya benar. Tergantung dia lah mau seperti apa yang seharusnya.
Sepanjang hari ini dia seperti berputar-putar ingin seperti apa, menulis apa, atau bahkan mau jadi apa. Dia pun bersikeras atas usahanya hari ini.
Nihil.
Hanya ikhlas yang bisa dilakukan. Karena sebenarnya dia gak tau. Dia muter-muter aja di toko buku Kinokunia yang isinya buku-buku elegan hari ini. Tanpa tau harus ngapain.
Saat dia muter, dia ngeliat secuplik quote-quote menarik. Dia berusaha mengingat, tapi apa daya akhirnya di foto dengan hapenya. Setelah tiba di meja, dia berusaha mengingat akan sebuah kalimat yang berusaha ditelaahnya.
Tapi itulah takdir. Dia membawa kita bersama. Pada akhirnya kitalah yang harus memutuskannya. Kita mungkin saja bertmu seseorang dalam suatu kesempatan, tapi untuk menjaga orang itu agar terus bersama, keputusannya ada di tangan kita sendiri
(Sakura, Engkaulah Takdirku. Hardius Usman)
Cuplikan tersebut seperti membuat dirinya terperangah. Karena sebenarnya dia baru aja kehilangan. Tanpa sadar, histori akan sebuah perjalanan membuat dirinya seakan tak bisa lepas dari masa lalu.
Dia berusaha menangis, dia pun berusaha tertawa. Untuk memahami "menjaga" itu yang sebenarnya dia bingung. Abis gimana, terkadang menjaga saja tak cukup. Namun, harus bisa mengawinkan perasaan. Jikalau perasaan sudah tidak seharmoni, mungkin saatnya dia pergi.
Karena dia ngerasa kalau yang dijaga pun tidak menjaga dirinya sendiri. Untuk apa dia tetep stay dan berusaha di sebuah tabir yang kosong.
Worth it apa enggak sih jatohnya. Karena dia cuma sekelumit narasi yang membentuk puisi akan kehidupannya sendiri. Fana, dan terkadang terlalu sulit diejawantahkan.
Yayaya, seperti berjalan di rel kereta yang seperti gak ada ujungnya. Menjaga agar rel itu tetap presisi, agar ratusan orang bisa melaluinya setiap pagi dan petang.
Dia pun kembali menatap apa yang menjadi pertanyaan di depan.
Akan kah dia kuat?
Sesederhana itu.
Comments
Post a Comment