Cina lagi

Hal inilah yang berkembang, bahwa kita memperdebatkan suatu gejala fenomena kebahasaan dengan menampikkan proses bagaimana sebuah kata itu muncul. Seharusnya yang diangkat adalah mengenai pembentukan kata Cina yang terdiri dari huruf Arab jim titik 3, ya, dan nun, dalam naskah-naskah Melayu kuno. Sedangkan kita malah meributkan masalah bahasa yang dikuasai dengan politik dan kekuasaan.

Ketika muncul dalam iklan, media yang dekat dengan masyarakat, baru kita mencari mana yang benar. Sekarang bagaimana kebali ke diri kita masing-masing. Kalau saya berkesempatan untuk menjadi copywriter sebuah produk yang menuliskan kata itu, tentu saya akan menuliskannya dengan kata Cina. Bukan berarti saya rasis atau tidak, karena kata itulah yang menjadi kosakata bahasa Indonesia. Bukan China yang jelas kita mengambilnya dari bahasa Inggris. Apalagi sampai disebutkan dengan /cajna/, tentu ini mempertahankan sebuah kesalahan.

Mengutip tulisan Budiman Hakim di buku Sex After Dugem: Catatan Seorang Copywriter, bahwa dalam jualan kita mau tidak mau harus rasis terhadap pasar yang kita tuju. Nah, sekarang tinggal bagaimana kita mau jualan dan bertahan dengan rasis yang terbentuk karena keadaan atau berusaha menggunakan kebenaran dengan mencoba memahaminya sebagai sebuah proses kebahasaan. Karena sebuah kebenaran kadang tidak bisa dipertahankan kalau lahan yang digunakan adalah jualan.

Silakan koreksi jika ada kesalahan, Terima kasih juga mas Zacky Harun. :)

Salam

Ikhwan Aryandi
Pencari kesempatan kerja Copywriter
http://ikhwanaryandi.blogspot.com
http://ikhwanaryandiport.carbonmade.com

Comments

Popular posts from this blog

KARYA IKHWAN ARYANDI

Ketipu Sama Ujan

Telah Lahir