Populer Melanda Prinsip
Jadi lucu gw ngeliat kejadian diskon sendal Crocs kemaren. Gak tau kenapa emang begitu nge-boom diskon besar-besaran yang diadakan oleh pabrik sendal tersebut di Senayan City itu.
Ya emang gw akuin sendal, yang telah memberhentikan beberapa eskalator di mal-mal Jakarta, ini banyak peminatnya karena lucu bentuknya dan bahan karetnya yang ngebikin sendal ini jadi tahan lama. Yang jadi pikiran sama gw adalah kenapa sendal itu begitu populernya? Apakah kepopuleran ini bertahan sampai waktu yang lama?
Ternyata setelah gw telaah, emang orang-orang khususnya Indonesia itu sangat menyukai budaya populer. Entah kenapa kepopuleran sendal Crocs ini fenomenal banget dan jadi tren sekarang.
Apa sih yang ada di kepala pengejar sendal Crocs itu? Mungkin simpel, yang mereka kejar adalah murah dan tren itu sendiri. Kadang gw sendiri suka mikir kenapa hal itu terjadi. Apakah kepopuleran itu jadi bahan tersendiri untuk direnungi.
Murah, masa kini, status, dan pikiran-pikiran lain bisa dijadiin alesan kenapa budaya populer bisa berkembang. Mau gak mau produsen barang pun harus bisa melihat ke mana bergeraknya pasar. Kalau pasar udah suka, pasti akan jadi ladang emas untuk si produsen.
Gw sangat suka kebudayaan populer. Militan dan sangat dinamis. Gak tau kenapa ditambah pemikiran-pemikiran yang gw dapet setelah gw lulus kuliah dan bekerja sekarang, gw menjadi seperti sangat memperhatikan berkembangnya budaya populer.
Gak usah sendal, coba loe liat radio Prambors sekarang. Gw tau dan semua orang tau kalau radio Prambors itu adalah radio anak muda. Stereotip itu gak bisa lepas dari radio yang udah 30 tahun lebih berdiri. Bahkan mereka mencetak entertainer-entertainer muda yang sekarang sudah kawakan. Di Jakarta mereka gak ada yang bisa ngalahin deh.
Di tahun 2009 radio Gen fm pun berdiri. Tring! Sekejap waktu aja radio itu tenar dan langsung disukai pasar. Kehadiran Gen fm ini ternyata memukul habis Prambors yang udah puluhan tahun berdiri.
Simpel aja sih konsep yang dibawa Gen fm, cuma menghadirkan musik negeri sendiri jadi tuan rumah. Dan, itu yang Prambors gak bisa imbangin. Prambors bertahan dengan radio yang menghadirkan lagu-lagu lawas luar negeri. Ternyata seiring perkembangan musik di Indonesia mengharuskan Prambors harus mengubah konsep, menurut gw.
Sekarang? Kayanya gak ada radio yang didengar di mal, pasar, terminal, kafe, pom bensin, dan tempat-tempat yang kalau menurut gw itu range atas, mengah, menengah bawah yang sangat variatif. Gen fm membuktikan kalau mereka bisa masuk ke semua lini pasar.
Alhasil, Prambors pun terpukul habis oleh Gen fm. Sebagian orang bilang Gen fm itu muterin lagu-lagu sampah. Itu buat yang idealis, buat telinga-telinga awam mah bodo amat kan? Sekarang, banyakan mana yang idealis dengan yang awam? Tentunya para produser dan pengiklan pun berpindah berbondong-bondong seenaknya. Yaiyalah, mereka nyari duit, bukan idealisme.
Itulah kebudayaan populer. Apakah salah jika berpihak ke budaya itu? Gak salah dong, tapi kalau mau tetep idealis silakan aja. Gak ada yang larang kok. Tapi, tentu tidak untuk gw. Karena gw menganggap kepopuleran itu sesuatu yang bisa ditelaah dan bisa diikuti kedinamisannya kok.
Dinamis bukan berarti kebawa arus lho. Di situ lah kenapa gw punya konsep-konsep di kepala yang bisa gw yakinin sebagai sesuatu yang gw pegang teguh. Misalnya orang banyak bilang kalau perempuan jaman sekarang itu banyak gak setia, mereka udah melebihi laki-laki yang suka dibilang buaya. Populer gak stereotip itu? Tapi, gw tetap menganggap kalau gak semua laki-laki dan perempuan jaman sekarang yang bisa kaya gitu.
Selain modernitas yang melanda, tetep gw punya pikiran klasik kok. Banyak perempuan di luar sana yang bisa gw yakini sebagai orang baik. Baik tentunya bukan label sekejap mata, tapi lebih kepada kebaikan gw menjalani setiap proses dengan dia. Proses, inget selalu kata itu. Kalau emang udah gak cocok, tinggalin aja. Tinggalin tentu dengan proses juga.
Gw seneng dengan populer itu militan. Yaiyalah, liat aja orang yang mengantri untuk beli sendal Crocs itu. Apa sih yang dipikirin para pembeli itu? Jujur gw gak tau, karena 100 orang bisa jawab dengan 100 jawaban yang berbeda. Yang pasti gw bisa melihat kalau sesuatu yang bergerak dinamis itu gak ada salahnya kok diikutin, dan cuma gw sendiri lah yang harus punya pegangan atau prinsip dalam menelaah kebaikan dan keburukannya.
Idealis? Kalau kata orang bijak, "idealis mah gak ngasilin duit." Bener gak tuh? Hahahhaa, kalau menurut gw sih iya, karena emang kalau gw udah memutuskan untuk idealis akan timbul satu pertanyaan. "Mau sampe kapan?"
Hahahahhaah, pertanyaan simpel tapi menohok. Gw mau kebebasan berpikir, ya kalau saran gw sih cuma satu. Coba ikutin budaya populer. Tapi, jangan melupakan prinsip. Kalau gak gw sendiri yang akan terbawa arus.
Seandainya gw bisa nyiptain sebuah tren ya? Misalnya cowo keren itu cowo brewokan. Hahahhaa, yang ada seluruh cowo Indonesia gak bisa ke Amerika dong. Nanti disangka teroris, hehehehe. Padahal New York adalah kota impian gw yang harus gw masukin di daftar impian gw.
Aneh-aneh aja ya gw ngebahasnya? Ngaco dan penuh analisis sampah yang gak pantes diikutin. Tapi, itulah yang ada di otak gw. Minimal gw "berani," hehehehe.
Yang pasti gw senang membahas kebudayaan populer ini. Karena berhubungan banget dengan dualisme "Klasik vs Modern" yang pernah gw angkat di tulisan gw sebelumnya. Nanti, gw pengen nyoba ngaitinnya ah. Soalnya, mau salah atau mau bener tergantung orangnya bukan?
Kalau sahabat? Gak ada kata populer atau idealis. Mereka semua inspiring.
Pacar? Tergantung gw memperlakukan dan take and give-nya.
Nah, kalau istri? Itu mah kuasa penuh gw sebagai pemimpin keluarga kelak.
Bisa ngeliat kan perbedaan dan pemaknaannya?
Comments
Post a Comment