GAWAT! Gelar Tikar di Kereta!

Di tengah sibuknya pekerjaan ini, gw langsung berusaha semaksimal mungkin dengan pekerjaan. Liat komputer dengan seksama, email-email yang berseliweran, dan banyak hal yang kadang ngeganggu apa aja yang keliatan.

Entah kenapa tadi, ada percakapan lah di kubikel gw yang nyerempet obrolan makan dan minum di kereta. commuterline Jabodetabek.

"Gak boleh makan dan minum dalam kondisi apapun kok," gw bilang.

Gw sebagai pengguna lama kereta bilang gitu aja.

"Ah masa... Makan dikit aja gitu," salah seorang teman bilang.

"Gak boleh cuy, kan peraturannya jelas terpampang di kereta. Udah gitu di-sounding terus di pengeras suara oleh asisten masinis," kata gw.

"Ya kalau haus gimana, kalau laper masa gak boleh dikit. Anak kecil kalau laper?"

"Gak boleh, karena gw pernah dengan sopan negur orang di kereta pas makan," kata gw. Gw bilang juga kalau mau makan atau minum silakan turun di peron terdekat.

"Yaa, jangan kaku-kaku amat lah... Masa haus minum gitu doang gak boleh."

Mungkin potret kaya gini sering terjadi. Di mana peraturan hanyalah jadi olok-olok belaka. Gambaran karakter Orang Indonesia ya seperti ini. Ngentengin sebuah peraturan.

Gw gak bermaksud ngejelekin bangsa sendiri sih. Tapi, lebih kepada gimana menghargai sebuah peraturan itu sendiri.

Peraturan tentu dibikin gak sekonyong-konyong gitu aja. Tapi, melalui riset, pengembangan, data, dan segala macem aspek sosial tentu dijadiin pertimbangan.

Mungkin dilarangnya makan dan minum di dalem kereta commuterline itu karena nanti orang Jabodetabek yang naek akan berantakan, makan sembarangan, buang sampah sembarangan, atau bahkan gelar tiker dan piknik di dalem kereta, hehehehe.

Gw gak bilang kalau gw sempurna. Atau gw gak ngerasa gw sendiri pasti taat sama peraturan sepenuhnya. Tapi, kebayang gak kalau taat peraturan itu jadi budaya yang berlaku secara nasional?

Kaya Orang Jepang yang seperti selalu dikungkung di jutaan peraturan di negaranya. Harus antre, gak boleh nyeberang sembarangan, gak boleh buang sampah sembarangan, dan masih banyak lagi.

Berasanya kaya dulu waktu gw ke Jepang pertama kali. Waktu mau ke Osaka naik bus malem, gw bertiga sama temen duduk lah di lantai. Biasalah ngemper kaya nunggu bus di terminal. Karena bangku sama orang yang nunggu gak sebanding.

Yang aneh saat itu adalah gak ada satu orang pun di tempat nunggu yang duduk di lantai. Paling-paling adalah orang itu jongkok dengan bertengger di pegangan kopernya. Kalau jongkok kan gak bisa lama-lama. Karena nanti pas berdiri pasti darah rendah, hehehe.

Gw awalnya ngeliat kejadian itu curiga tapi ya gw pendam aja. Sampe ada waktu saat gw ke Jepang kedua kalinya untuk nemenin temen gw ngurusin kawinan sama Orang Jepang.

Pas kedua kalinya gw ke Jepang, di Tateyama gw harus nunggu bus sekitar setengah jam. Suasana dingin dong, karena di pegunungan salju. Pas nunggu bus itu kembali lagi, gak ada satu pun Orang Jepang yang duduk di lantai.

Gw tergelitik dan akhirnya nanya ke calonnya temen gw waktu itu.

"Kenapa Orang Jepang gak ada yang duduk di lantai?" tanya gw.

"Karena itu udah omongan orangtau kita kalau duduk di lantai itu kotor, banyak kuman dan bakteri," kata calon temen gw yang seorang cewek Jepang.

JLEB!

Goks banget sih kalau menurut gw. Berarti seluruh orangtua di Jepang mengajarkan hal yang sama tentang gak boleh duduk di lantai. Sehingga omongan itu berlaku secara nasional dan dijalankan oleh seluruh Orang Jepang. Ini padahal hitungannya bukan peraturan, hanya norma dari orangtua.

Kalau Orang Indonesia itu suka ngegampangin peraturan yang sebenernya gak multitafsir. Kaya naik motor pake helm. Itu wajib gak? Mulitatafsir gak? Peraturan naek motor harus pake helm itu dibikin untuk safety cuy. Biar kalau kecelakaan seenggaknya ada yang melindungi kepala.

Di Indonesia ngerasanya wajib tapi banyak orang yang ngentengin. Ke mana-mana gak pake helem dan naek motor kaya naek sepeda aja.

"Ah kan cuma beli beras, deket kok. Masa harus pake helm."

Orang Indonesia itu suka memmultitafsirkan peraturan yang sebenernya gak multitafsir. Peraturan kembali lagi, dibuat untuk kemaslahatan semua orang kan. Dengan melihat semua karakter dan kondisi sosial tentang peraturan itu di mana dibuat.

Kalau peraturan simpel gak boleh makan dan minum di kereta aja gak dipatuhin sama naek motor harus pake helm, kapan bangsa ini MAU maju? Akan selamanya kerdil dan dikerdilkan.

Coba lah mulai dari diri sendiri, kalau menurut gw. Patuhi semua peraturan yang dibikin di negara ini. Karena pasti itu yang terbaik buat Indonesia.

Nyetir pake sabuk pengaman, naik motor pake helm, gak boleh lawan arah, dan masih banyak jutaan peraturan yang harus dipatuhi demi kemaslahatan bersama.

Kaya budaya cium tangan sama orangtua atau orang yang lebih tua? Kan adem kalau ngeliat budaya itu berlaku di seluruh penjuru bangsa ini. Padahal itu hitungannya norma kaya kasus Jepang tadi. Jadi lucu ketika tim U12 sepakbola Indonesia mencium tangan wasit internasional saat mau memulai pertandingan. https://youtu.be/7cDlfQnFNyg

Emang, gw tau Orang Jepang maju karena mereka taat peraturan. Tapi, Jepang less demography kan. Mereka gak punya generasi muda yang akan ngelanjutin keindahan mematuhi peraturan itu. Bahkan Jepang lagi ketakutan sekarang jika bahasa mereka punah karena gak ada generasi muda.

Indonesia? Bonus demografinya gak ketulungan. Generasi milenial sekarang menempati 34% dari 260 jutaan penduduk Indonesia. Kalau yang bagus-bagus bisa dijadikan budaya buat adek, anak, cucu nanti, gw yakin Indonesia akan jadi bangsa super power.

Sedaaapppp gak tuh. Intinya gitu lah. Di kereta commuterline Jabodetabek itu gak boleh makan dan minum di dalem kereta. Patuhilah dan gak usah nanya kenapa, pasti itu yang terbaik.

Udah ah, udah kepanjangan nulisnya. Takut orang pada bosen bacanya.

Gw udah di rumah. Saatnya istirahat.

parah loe...

Comments

Popular posts from this blog

KARYA IKHWAN ARYANDI

Perintis Periklanan Itu Bernama Nuradi

Nasi Padang Agensi Jepang