Masih Mau Ngelawan? Terus Jadi Viral?

Ngelawan sesuatu yang viral. Susah juga ya kalau dibahasnya. Hmmm, lucu juga belakangan ini.

Yaaa emang gak bisa dinafikan kalau Tiktok hadir di dunia dan mengubah semuanya. Sekarang itu, tren digerakkan oleh aplikasi yang berkantor pusat di Beijing tersebut.

Polanya bergerak dan berubah. Dulu itu, kehadiran Youtube sebagai wadah watch on demand, yang bergerak algoritma untuk sebuah polarisasi interes dan keinginan. Jadi, apa yang mau gw tonton, ya tinggal buka Youtube, terus gw menikmati video yang gw pengenin.

Namun, Tiktok hadir sebagai pola baru yang bikin jamannya kembali lagi ke jaman televisi. Di saat gw harus terus mindah-mindahin channel. Sampe gw dapet acara yang bagus, dan akhirnya gw nonton iklannya dan berbagai macam atribut yang mengikutinya.

Pola "balik ke jaman dulu" ini dihadirkan Tiktok sebagai wadah video 15 detikan, walau sekarang bisa 1 menit, yang nyaman karena tinggal swipe up dan video pun berubah. Algoritma pun merekam video-video apa yang kita ngabisin waktu di situ.

Setelah direkam oleh algoritma, Tiktok akan nyajiin video-video serupa ke beranda atau lebih dikenal sebagai FYP (for your page). Dia akan ngikutin terus video-video lain yang punya kemiripan. Intinya semakin kita berhenti di berbagai jenis video, algoritma akan makin banyak merekam kegiatan interes gw saat itu.

Yang mau gw omongin bukan itu, tapi gimana caranya ngelawan sesuatu yang viral di jaman sekarang. Apakah sebuah media kaya iklan bisa negegerakin tren atau bisa dibilang viral secara organik?

Ngeliat perkembangan di televisi, atau bahkan radio pun isi lagunya atau isi dari kegiatannya pun mengadaptasi dari Tiktok. Awalnya kan stasiun televisi mengambil dari Youtube atau bahkan punya Youtube sendiri.

Jujur gw masih dengerin radio kaya Prambors, dan jujur aja isi lagunya 60% lagu-lagu yang ada di Tiktok. Kembali lagi, apakah bisa ngebendung sesuatu yang viral hanya dengan media, acara, event, atau bahkan sesuatu yang mencoba ngelawan viral?

Gw rasa sih gak mungkin. Karena generasi di bawah gw ini, udah hidup dengan serba kemudahan akses teknologi dan informasi. Jadi, tentu mereka itu gak akan peduli sesuatu yang coba diciptain dengan pemikiran periklanan yang kompleks.

Jatohnya bikin sesuatu jadi cuma sekedar ada aja. Bukan penetrasi kuat yang mampu menggoyang atau menggetarkan sesuatu yang viral tadi.

Apakah keberadaan stasiun TV, kantor advertising, dan media-media lain masih dibutuhin?

Kalau gw sebagai si empunya brand, gw mah nebeng aja sesuatu yang viral. Sehingga, produk gw bisa lebih dikenal orang tanpa harus berbuat banyak. Paling spending yang gede ada di beli copyright atas lagu, gerakan, atau hal yang sedang viral tersebut.

Jadi jatohnya iklan-iklan yang sekarang ada di TV, radio, cetak, atau media digital itu hanya sekedar ada aja cuy. Gak punya kekuatan apa-apa untuk ngelawan sesuatu yang viral.

Karena viral pun ada zonasinya juga. Baik yang internasional kaya joget duo Filipina yang pake lagi Heartbreak Anniversary. Itu nge-boom banget cuy. Khususnya di bulan Februari sampe Maret ini. Atau viral yang sifatnya lokal di negara atau provinsi tertentu.

Kita liat aja brand apa yang akan "numpang" di keviralan joget itu. Pada akhirnya pun tren dan viralisme akan jadi tonggak pionir yang aka gerakin pola sebuah brand beriklan, dan pola konsumen yang akan menikmatinya.

Jaman berubah cepet amat yaa, dalam 2 tahun ini brutal banget perubahannya. Sementara Tiktok masih jadi punggawa di masalah watch hour dibanding aplikasi lain. Apalagi Tiktok sebagai wadah yang ngegerakin sesuatu jadi tren atau viral. Dan terkoordinir.

Jadi masih berani ngelawan sesuatu yang viral?

parah loe...

Comments

Popular posts from this blog

KARYA IKHWAN ARYANDI

Perintis Periklanan Itu Bernama Nuradi

Nasi Padang Agensi Jepang